Jakarta, CNBC Indonesia – Mata uang Garuda masih melemah dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS) akibat tekanan indeks dolar AS (DXY) yang menguat dan sikap wait and see pelaku pasar menanti hasil rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia.
Melansir data Refinitiv, mata uang Garuda ditutup di posisi Rp15.550/US$, terdepresiasi 0,03% pada sepanjang perdagangan Senin (15/1/2024).
Koreksi rupiah terjadi akibat tekanan dari indeks dolar AS (DXY) yang menguat. Pada penutupan perdagangan kemarin DXY berada di 102,60. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan penutupan Jumat pekan lalu sebesar 102,40.
Pelemahan rupiah kemarin terjadi ditengah rilis posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia yang naik dan surplus neraca perdagangan yang masih berlanjut.
BI diketahui telah merilis data ULN Indonesia kembali naik pada November 2023. Hal ini salah satunya dikarenakan pemerintah menarik utang baru dalam bentuk global sukuk senilai US$2 miliar atau Rp31,1 triliun (kurs Rp15.550).
Posisi ULN Indonesia pada November 2023 tercatat sebesar US$400,9 miliar atau sekitar Rp6.237 triliun. Sementara ULN Oktober US$394,4 miliar.
“Perkembangan ULN tersebut terutama disebabkan oleh transaksi ULN sektor publik,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono.
“Selain itu, posisi ULN pada November 2023 juga dipengaruhi oleh faktor pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global yang berdampak pada meningkatnya angka statistik ULN Indonesia valuta lainnya dalam satuan dolar AS,” terangnya.
Utang yang semakin meningkat ini memberikan kekhawatiran pelaku pasar atas kemampuan Indonesia dalam mengelola utang dan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kendati demikian, hingga saat ini, utang RI masih cukup terkendali dan aman.
Selain itu, pada kemarin BPS telah merilis data neraca dagang yang tercatat surplus di atas ekspektasi pasar.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Desember 2023 akan mencapai US$1,95 miliar.
Namun pada kenyataannya, neraca dagang Indonesia surplus sebesar US$3,3 miliar pada Desember 2023. Surplus ini jauh lebih besar dibandingkan US$2,41 miliar pada November 2023.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan surplus pada bulan Desember ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, namun leibh rendah pada Mei 2022.
“Surplus Desember 2023 ditopang surplus komoditas nonmigas yaitu US$5,2 miliar dengan komoditas penyumbang adalah bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, besi baja,” kata Pudji.
Kendati demikian, impor Indonesia tercatat cukup rendah dari tumbuh 3,29% year on year/yoy pada November 2023 menjadi -3,81% yoy pada Desember 2023.
Hal ini juga memberikan sentimen negatif bagi perekonomian Indonesia mengingat peristiwa natal dan tahun baru seharusnya mampu mengangkat konsumsi dan daya beli masyarakat.
Beralih pada hari ini, Selasa (16/1/2024) BI akan memulai hari pertama Rapat Dewan Gubernur (RDG). Rapat BI akan membahas prospek ekonomi global nasional, proyeksi inflasi, kebijakan suku bunga, hingga penjelasan kondisi industri perbankan terkini.
Menarik untuk dinanti hasilnya yang akan diumumkan besok, Rabu (17/1/2024) karena dampaknya akan berpengaruh cukup signifikan terhadap keseluruhan terhadap pasar keuangan Tanah Air.
Teknikal Rupiah
Pergerakan rupiah melawan dolar AS secara teknikal dalam basis waktu per jam terpantau masih dalam tren sideways. Dari posisi penutupan kemarin, mata uang Garuda paling dekat potensi bisa menguji support Rp15.540/US$. Posisi tersebut didapatkan dari garis rata-rata selama 50 jam atau moving average 50 hari (MA50).
Kendati begitu, kita tetap perlu mengantisipasi jika ada pembalikan arah melemah dengan mencermati resistance terdekat di Rp15.580/US$. Nilai ini di didapatkan dari garis horizontal berdasarkan high candle yang sempat diuji secara intraday pada 10 Januari 2024. https://brewokkiri.com/