Banjir yang melanda Kabupaten Demak dan wilayah sekitarnya di Jawa Tengah hingga Selasa (19/03) menunjukkan bahwa infrastruktur pengendali banjir yang ada belum siap menghadapi cuaca ekstrem yang sejak lama telah diprediksi akan lebih sering terjadi.
“Kebanyakan banjir itu kan dari tanggul jebol satu-satu, pasti ada sesuatu yang ekstrem, deras, tidak bisa nampung. Akhirnya tanggul itu enggak kuat, satu per satu, beruntun,” kata Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin kepada BBC News Indonesia.
Erma meyakini hujan ekstrem selama 10 hari itu dipicu oleh fenomena squall line atau “jalan tol hujan” di wilayah pantai utara Jawa. Meski Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tak sependapat soal itu.
Namun terlepas dari apa pun pemicunya, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani mengatakan penting untuk memitigasi potensi cuaca ekstrem yang akan lebih sering terjadi seiring naiknya suhu global.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada Senin (18/03), Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Demak, Agus Nugroho, mengatakan hampir seluruh wilayah di Kabupaten Demak tergenang banjir setelah enam tanggul sungai jebol karena “volume air yang sangat luar biasa”.
Tanggul-tanggul itu ternyata telah berusia puluhan hingga ratusan tahun, bahkan dibangun sejak era kolonial Belanda.
Imbasnya, lebih dari 95.000 orang terdampak dan sekitar 25.000 orang di antaranya mengungsi. Jalur Pantura ruas Demak – Kudus pun “lumpuh total” karena ketinggian air mencapai 1,5 meter. Kondisi itu membuat akses transportasi dan logistik menjadi terhambat.
Wartawan Nur Misno yang melaporkan untuk BBC News Indonesia di Demak mengungkapkan bahwa banjir kali ini berdampak lebih luas dan terasa “lebih parah” dibandingkan yang terjadi pada Februari lalu.
Wilayah yang terdampak paling parah, yakni Desa Ketanjung dan Desa Karanganyar, terendam dengan ketinggian air mencapai tiga meter.
Jalan-jalan protokol, masjid, hingga alun-alun di Kota Demak juga terendam sehingga mengganggu aktivitas ekonomi.
Sejauh ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk mengurangi dampak banjir di Demak dan sekitaranya.
BMKG juga memprediksi bahwa cuaca ekstrem di Jawa Tengah akan mulai mereda dalam beberapa hari ke depan, meski masih ada potensi kembali terjadi hingga April mendatang.
‘Dari banjir sebelumnya saja belum selesai bersih-bersih’
Rohmah Khodaryati, 39, tadinya berharap bisa menjalani ibadah puasa Ramadan dengan tenang. Tetapi gara-gara banjir, Rohmah terpaksa menjalani puasa di tempat pengungsian.
Tanggul Sungai Jeratun, yang berlokasi di dekat rumahnya di Desa Karanganyar, Demak, jebol pada Minggu (17/03) dini hari.
“Posisi bulan Ramadan kita dapat cobaan seperti ini. Inginnya kan khusyuk ibadah. Sekarang mau ke masjid saja enggak bisa, masjidnya kan kena air, kena banjir,” kata Rohmah kepada wartawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Ini adalah kali kedua Rohmah terdampak banjir pada tahun ini, setelah sebelumnya tanggul yang sama juga jebol pada Februari lalu. Namun banjir kali ini, menurutnya, “lebih parah” dari sebelumnya.
Rumah Rohmah terendam setinggi 1,5 meter. Sementara di beberapa titik lainnya di desanya ada yang tergenang hingga tiga meter.
Kali ini, masyarakat desa telah diperingatkan untuk siaga sejak tiga hari sebelumnya melalui pengeras suara di musala.
“Siaga pertama itu cuma rembes, kedua juga seperti itu. Yang ketiga itu warga diminta untuk penguatan tanggul, tapi pada posisi sekitar jam dua dan jam tiga [dini hari] itu sudah enggak bisa. Akhirnya tanggul jebol,” kenang Rohmah.
“Ya sudah, air masuk begitu derasnya itu, langsung naik, naik, naik.”
Rohmah awalnya sempat bertahan di lantai dua rumahnya. Namun pagi harinya, air justru kian tinggi.
“Akhirnya saya mengungsi ke daerah seberang yang belum terdampak, tapi di seberang jalan itu posisinya juga dikejar air. Ada Tim SAR mendekat ke tempat saya mengungsi itu, jadi saya ikut ke sini [tempat pengungsian],” tutur Rohmah.
Namun, perahu karet SAR diprioritaskan untuk lansia dan orang-orang yang sakit. Rohmah pun berjalan menggunakan pelampung dan tali yang diikat ke perahu karet sejauh satu kilometer.
Rohmah mengaku sangat lelah menghadapi banjir.
“Kondisi rumah ya morat-marit ke mana-mana. Dari banjir sebelumnya saja belum selesai bersih-bersih lumpurnya. Ini kedatangan lagi, semoga saja barang-barangnya tidak ke mana-mana,” kata Rohmah.
Dia berharap pemerintah bisa mencari solusi jangka panjang agar masyarakat tidak lagi harus berhadapan dengan banjir akibat tanggul jebol.
“Kalau saat ini, ya mungkin ndak mungkin karena kondisinya masih musim penghujan, dikuatkan seperti apa pun ndak bisa sekuat itu. Harapannya ya semoga pemerintah tetap memperhatikan kami yang dekat dengan sungai-sungai besar itu, bagaimana solusinya nanti ke depannya,” kata Rohmah.
‘Kalau seperti ini terus, Demak tidak bisa kering’
Kepala Pelaksana BPBD Demak, Agus Nugroho mengaku “putus asa” apabila tanggul-tanggul yang jebol tidak segera diperbaiki. Pada Senin, hanya tinggal satu kecamatan di wilayah Demak yang belum terdampak banjir.
“Kami terus terang sudah putus asa. Kalau sampai tanggul Sungai Lusi, Desa Bugel, Kecamatan Godong itu tidak segera ditutup, maka Demak akan tenggelam, benar-benar akan tenggelam,” kata Agus kepada BBC News Indonesia.
Menurutnya, upaya perbaikan tanggul-tanggul yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejauh ini “belum maksimal”.
“Masih mudah kena air, jebol lagi, jebol lagi. Kalau yang seperti ini berlanjut terus, Demak tidak akan pernah bisa kering karena air yang mengalir dari atas melalui Sungai Lusi dan Sungai Wulan itu sudah luar biasa volumenya,” kata Agus.
BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara Kementerian PUPR Endra Atmawijaya, namun belum ada tanggapan sampai berita ini ditulis.
Sejauh ini, Penjabat Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana mengatakan penutupan tanggul jebol tengah diupayakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS).
Tanggul-tanggul itu ditargetkan akan selesai diperbaiki pada akhir pekan ini.
Sementara itu, BMKG dan BNPB juga akan memperpanjang operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk mengurangi dampak banjir di wilayah Jawa Tengah, khususnya Demak dan Kudus.
“Operasi TMC ini semula berakhir tanggal 20 Maret 2024, tetapi melihat genangan banjir di Kabupaten Demak dan Kudus ini, maka akan diperpanjang,” kata Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto dikutip dari Kantor Berita Antara.
Apa penyebabnya dan mengapa terasa ‘lebih parah’?
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani menuturkan cuaca ekstrem kali ini dipicu oleh fenomena atmosfer yakni Madden Julian Oscillation (MJO) yang juga dipengaruhi oleh tiga bibit siklon tropis.
Menurutnya, dampak banjir di Demak terasa “lebih parah” dibandingkan pada Februari lalu karena saat cuaca ekstrem terjadi, kondisi air laut juga sedang pasang maksimum mencapai 165 cm.
“Ketika hujan ada peningkatan, dari laut juga naik sehingga air limpasan tidak bisa mengalir ke laut,” kata dia.
Belum lagi faktor drainase di sekitarnya yang tidak memadai untuk menyerap limpasan air sehingga banjir terasa lebih parah.
Pendapat berbeda soal pemicu cuaca ekstrem disampaikan oleh peneliti klimatologi BRIN Erma Yulihastin.
Menurut Erma, cuaca ekstrem selama sekitar 10 hari belakangan di Jawa Tengah “tidak lain dan tidak bukan dipicu oleh squall line” di area yang dia sebut sebagai Tanjung Jepara.
Squall line atau yang dia sebut sebagai “jalan tol hujan” merupakan sistem badai yang terbentuk dari pertumbuhan awan secara horizontal.
Tanjung Jepara yang dia maksud adalah wilayah di utara Jawa Tengah dari Demak hingga Jepara yang lebih menjorok ke laut.
“Di Laut Jawa itu langsung tiba-tiba ada garis panjang gitu kan, warnanya merah semua, langsung tiba-tiba hujan dengan intensitas tinggi di situ. Beda dengan penjalaran hujan biasa,” jelas Erma.
Hujan ekstrem yang intens selama 10 hari itu dinilai berkontribusi pada jebolnya tanggul.
Dalam ancaman seperti ini, Erma mengingatkan bahwa kota-kota pesisir lah yang paling terdampak dan perlu dilindungi.
Perubahan iklim, sambung dia, dapat menyebabkan hujan badai semacam ini kian sering terjadi dan makin mengancam kota-kota pesisir.
“Apa yang terjadi selama 10 hari didera hujan deras secara intensif, itulah yang menyebabkan kawasan pesisir bisa hancur. Semua kota-kota pesisir bisa terancam ketika badai meningkat,” kata Erma.
Menanggapi analisis Erma, Andri mengatakan “perlu kajian lebih dalam untuk menentukan secara spesifik apakah itu adalah squall line“.
“Apapun itu, kami sudah identifikasi ada peluang cuaca ekstrem dan yang penting adalah peringatannya sampai ke masyarakat kemudian responsnya seperti apa untuk menghadapi situasi terseut,” tutur Andri.
Sampai kapan cuaca ekstrem akan terjadi di Jawa Tengah?
BMKG mengatakan cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi hingga April mendatang, meski ada kemungkinan periodenya terjadi secara singkat.
Namun dalam beberapa hari ke depan, dia menyebut intensitas cuaca ekstrem di Jawa Tengah akan mulai mereda.
“Pantauan kami paling tidak hingga tanggal 23 Maret masih ada potensi, tapi kami akan update dan pantau kembali,” kata Andri Ramdani dari BMKG.
Apabila eskalasinya meningkat, Andri menuturkan BMKG akan kembali melakukan modifikasi cuaca untuk mengurangi dampak banjir.
Terlepas dari situasi saat ini, Andri mengatakan intensitas terjadinya cuaca ekstrem sudah semakin sering dan meningkat.
“Kita harus bersiap menghadapi itu. Mau tidak mau, kita harus sadari bahwa terjadi pemanasan global,” kata dia.
Cuaca ektrem ini tidak cuma menyebabkan bencana hidrometerorologi seperti banjir dan longsor. Namun pada musim kemarau, juga dapat menyebabkan kekeringan.
Perbaikan infrastruktur pengendali banjir
Erma mengingatkan agar pemerintah membangun infrastruktur yang dapat memproteksi wilayah-wilayah rentan banjir semacam ini, terutama wilayah pesisir.
“Kemudian dicek semua tanggul-tanggul, apabila ada tanggul yang membutuhkan penanganan segera, kondisinya kritis. Dana-dana infrastruktur harus disiapkan untuk itu,” kata Erma.
Selain itu perlu untuk mengecek kondisi sungai dari hulu ke hilir, apakah mengalami pendangkalan, sedimentasi atau penyempitan daerah aliran sungai.
Dihubungi terpisah, Abdul Muhari dari BNPB mengatakan pihaknya telah mengingatkan pemerintah daerah dan Kementerian PUPR untuk mengaudit infrastruktur perairan.
Pasalnya, tanggul-tanggul tua seperti yang jebol pada kasus banjir Demak dinilai sudah tidak lagi menghadapi beban yang harus ditanggung saat ini.
“Tentu saja saat tanggul itu dibangun tidak memperhitungkan tekanan populasi seperti sekarang,” kata Abdul Muhari.
“Sangat banyak infrastruktur perairan kita, tanggul-tanggul sungai yang sudah cukup tua dan perlu diremajakan,” sambungnya.
Untuk jangka panjang, Abdul juga mengatakan perlu membenahi drainase di perkotaan hingga restorasi ekosistem di hulu sungai untuk memastikan tersedia area resapan yang mencukupi. https://tehopeng.com/