Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Indonesia memiliki rencana besar untuk industri mobil listrik (EV) di Tanah Air. Antara lain dengan memberlakukan kebijakan hilirisasi nikel, agar pengelolaannya menjadi baterai bisa dilakukan di dalam negeri.
Selain itu, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga menetapkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk kendaraan listrik di Indonesia sebesar 40% sejak 2019 hingga 2026 mendatang.
Kewajiban TKDN akan ditambah secara bertahap hingga nantinya pada 2030 akan ditetapkan minimum sebesar 80%. Dengan begitu, produsen EV diharapkan tertarik berinvestasi dan memproduksi barangnya di Indonesia.
Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang melirik industri mobil listrik. Malaysia, Vietnam, dan Thailand punya taktik yang bisa jadi daya tarik bagi investor asing untuk menanam modal.
Taktik Malaysia Tarik Investor Asing
Malaysia makin kencang mengupayakan pertumbuhan industri semikonduktor (chip) untuk menyambut pasar mobil listrik yang terus berkembang.
Menteri Perindustrian Malaysia Zafrul Aziz mengatakan sudah banyak produsen EV yang memesan komponen dari Malaysia. Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai miliaran dolar AS.
“Mereka ingin mengamankan rantai pasokan untuk EV, jadi mereka datang ke Malaysia dan kami menyambut lebih banyak lagi produsen EV yang ingin bekerja sama,” kata Aziz dalam interview dengan CNBC International, dikutip Senin (15/1/2024).
Lebih lanjut, Aziz mengatakan tujuan pemerintah Malaysia adalah meningkatkan jumlah produsen EV di negaranya. Ia mengatakan Tesla milik Elon Musk kini menjadi salah satu penyedia stasiun pengisian daya (charging station) utama di Malaysia.
Beberapa raksasa teknologi Malaysia juga kini menjadi penyuplai untuk Tesla.
“Kami berharap makin banyak perusahaan seperti Tesla yang membangun pabrik perakitan raksasa di Malaysia,” ujar Aziz.
Pada Agustus tahun lalu, Tesla telah menyiapkan markas baru di Malaysia yang membuktikan komitmen investasinya di negara tersebut. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyambut niat baik tersebut.
“EV menjadi prioritas kami,” kata dia.
Untuk itu, industri semikonduktor menjadi salah satu yang akan terus dikembangkan di Malaysia. Pasalnya, mobil normal selama ini membutuhkan 5.000 chip, sementara EV perlu hingga 15.000 chip.
Langkah konkritnya, Malaysia telah menyiapkan satgas khusus untuk menggenjot semikonduktor nasional. Dengan begitu, Malaysia berharap bisa mengambil peran krusial dalam industri pasokan chip.
Aziz mengatakan satgas telah menyoroti pentingnya sektor semikonduktor di Malaysia. Saat ini, sektor tersebut telah menyumbang 7% PDB dan setengah dari nilai ekspor.
Satgas tak hanya akan mencari cara menumbukan industri semikonduktor dari segi infrastruktur, tetapi juga sumber daya. Malaysia ingin memastikan banyak talenta lokal yang siap memajukan industri chip.
Vietnam dan Thailand Kompak Sasar Mobil Listrik
Tak cuma Malaysia, Vietnam juga menjadi salah satu negara yang dilirik asing untuk berinvestasi di sektor mobil listrik. Salah satunya dikarenakan ongkos investasi yang lebih murah di Vietnam.
Berdasarkan laporan Foreign Investment Agency (FIA) dan Ministry of Planning & Investement (MPI) Vietnam 2018, biaya investasi di kota Ho Chi Minh lebih murah dibandingkan Jakarta.
Sebagai contoh, untuk menyewa Grade A Office hanya membutuhkan biaya US$ 17/m2/bulan. Sedangkan untuk menyewa tempat yang sama di Jakarta membutuhkan biaya US$ 50/m2/bulan.
Selain tempat, biaya tenaga kerja di Vietnam pun lebih murah. Upah pekerja untuk sektor manufaktur di Vietnam rata-rata adalah US$ 3.673/tahun. Sedangkan di Indonesia mencapai US$ 5.421/tahun.
Tidak hanya di level kerah biru, untuk tenaga kerja tingkat menengah-tinggi pun Vietnam lebih kompetitif soal upah. Gaji insinyur di Vietnam per tahun adalah US$ 7.315 sedangkan di Indonesia mencapai US$ 8.066.
Untuk upah level manager Vietnam juga lebih murah. Rata-rata per tahun seorang manajer di sektor manufaktur di Vietnam digaji US$ 15.418. Indonesia? US$ 16.889/tahun.
Selain itu, Vietnam memberikan beban pajak yang relatif lebih murah dibandingkan Indonesia. Untuk pajak korporasi (CIT) atau Pajak Penghasilan (PPh) Badan, Indonesia mematok flat di angka 25% sedangkan di Vietnam hanya 20% kecuali untuk sektor migas.
Vietnam juga memberikan berbagai macam insentif pajak seperti pembebasan atau pengurangan pajak penyewaan dan penggunaan lahan. Terakhir, ditinjau dari lokasi geografis, Vietnam terletak di tengah Asia Tenggara dan di bagian utara berbatasan langsung dengan China.
Hal ini tentu menguntungkan Vietnam karena lebih dapat terintegrasi ke rantai pasok dari China yang notabene sebagai investor strategis bagi Vietnam dan Indonesia.
Vietnam juga bukan merupakan negara kepulauan yang terfragmentasi seperti di Indonesia, sehingga dengan perbaikan di sektor infrastrukturnya menjadi daya tarik bagi asing.
Tetangga RI lainnya yang gencar mengembangkan industri mobil listrik adalah Thailand. Negara tersebut bahkan sudah lebih matang dan digadang-gadang sebagai ‘raja otomotif Asia Tenggara’.
Tak heran jika Thailand tak lagi fokus memberikan insentif bagi industri EV. Pada akhir 2023 lalu, Thailand mengumumkan pemangkasan subsidi untuk industri kendaraan listrik.
Hingga 31 Desember lalu, Thailand memberi subsidi antara 70 ribu-150 ribu baht per mobil listrik. Namun tahun ini besarannya menjadi paling rendah 50 ribu baht dan maksimal sebesar 100 ribu baht atau US$2.760 per mobil listrik baru (Rp44 juta). https://berdasarkanapa.com/